Sabtu, 18 September 2010

MAKNA DAN KEUTAMAAN HARI RAYA IDUL FITRI

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarokatuh.... 
Bismillahirrahmaanirrahiim.... 

Rasulullah.saw bersabda : “Puasa dan Al-Qur'an akan memberi syafaat bagi hamba pada hari kiamat. Puasa berkata, 'Ya Rabbi, aku mencegahnya makanan dan syahwat, maka berilah aku syafaat karenanya.' Al-Qur'an berkata, 'Aku mencegahnya tidur pada malam hari, maka berilah aku syafaat karenanya'. Beliau bersabda, 'Maka keduanya diberi syafaat',” (Diriwayatkan Ahmad)



Ketika mendengar kata
Idul Fitri, tentu dalam benak setiap orang yang ada adalah kebahagiaan dan kemenangan. Dimana pada hari itu, semua manusia merasa gembira dan senang karena telah melaksanakan ibadah puasa sebulan penuh.

Dalam Idul Fitri juga ditandai dengan adanya ”mudik (pulang kampung)” yang notabene hanya ada di Indonesia. Selain itu, hari raya Idul Fitri juga kerap ditandai dengan hampir 90% mereka memakai sesuatu yang baru, mulai dari pakaian baru, sepatu baru, sepeda baru, mobil baru, atau bahkan istri baru (bagi yang baru menikah tentunya...). Maklum saja karena perputaran uang terbesar ada pada saat Lebaran. Kalau sudah demikian, bagaimana sebenarnya makna dari Idul Fitri itu sendiri. Apakah Idul Fitri cukup ditandai dengan sesuatu yang baru, atau dengan mudik untuk bersilaturrahim kepada sanak saudara dan kerabat?.


Idul Fitri, ya suatu hari raya yang dirayakan setelah umat Islam melaksanakan ibadah puasa Ramadhan satu bulan penuh. Dinamakan Idul Fitri karena manusia pada hari itu laksana seorang bayi yang baru keluar dari dalam kandungan yang tidak mempunyai dosa dan salah.


Idul Fitri juga diartikan dengan kembali ke fitrah (awal kejadian). Dalam arti mulai hari itu dan seterusnya, diharapkan kita semua kembali pada fitrah. Di mana pada awal kejadian, semua manusia dalam keadaan mengakui bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan. Dalam istilah sekarang ini dikenal dengan
”Perjanjian Primordial” sebuah perjanjian antara manusia dengan Allah yang berisi pengakuan ke Tuhan-nan.
Allah.swt berfirman :

وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ

"(Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhan-mu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”)"
. (al-A’raf  7 :172)

Seiring dengan perkembangan itu sendiri, banyak di antara manusia dalam perjalanan hidupnya yang melupakan Allah serta telah melakukan dosa dan salah kepada Allah dan kepada sesama manusia. Untuk itu, memahami kembali makna Idul Fitri (kembali ke fitrah) dengan membangun kembali pengabdian hanya kepada Allah adalah sebuah keharusan sehingga kita semua dapat menjadi hamba-hamba muttaqin dan hamba yang tidak mempunyai dosa. Dosa kepada Allah terhapus dengan jalan
bertaubat dan dosa kepada sesama manusia dapat terhapus dengan silaturrahim.


Idul Fitri
atau kembali ke fitrah akan sempurna tatkala terhapusnya dosa kita kepada Allah diikuti dengan terhapusnya dosa kita kepada sesama manusia. Terhapusnya dosa kepada sesama manusia dengan jalan kita memohon maaf dan memaafkan orang lain.

(Dari al-Hasan bin Ali dan Muhammad bin al-Mutawakkil keduanya dari Abd al-Razaq dari al-Ma’mar dari al-Hasan dan Malik bin Anas dari al-Zuhri dari Abi Salamah dari Abi Hurairah berkata bahwa Rasulullah SAW senang melaksanakan
Qiyam Ramadhan (Tarawih) meskipun tidak mewajibkannya. Kemudian bersabda : ”Barangsiapa melaksanakan Qiyam ramadhan (tarawih) karena Allah dan mencari pahala dari Allah akan diampuni dosanya yang telah lalu". Kemudian Rasulullah wafat, sedang masalah Qiyam Ramadhan tetap seperti sediakala pada pemerintahan Sayyidina Abu Bakar.ra dan pada awal pemerintahan Sayyidina Umar bin Khattab.ra).

(Dari Muhammad bin Salam dari Muhammad bin Faudhail dari Yahya bin Sa’id dari Abi Salamah dari Abi Hurairah berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda :
"Barangsiapa yang berpuasa pada bulan ramadhan dengan kepercayaan bahwa perintah puasa itu dari Allah dan hanya mengharap pahala dari Allah akan diampuni dosanya").

Dosa merupakan catatan keburukan di sisi Allah yang telah dilakukan oleh setiap manusia karena mereka tidak menjalankan perintah atau karena mereka melanggar larangan Allah dan RasulNya.


Bulan Ramadhan merupakan bulan khusus yang dikhususkan Allah untuk Umat Islam. Di bulan ini terdapat maghfirah, rahmah dan itqun minan nar. Selain itu, bulan Ramadhan juga menjadi sarana umat manusia untuk memohon dan meminta pengampunan dari Allah dengan jalan melaksanakan ibadah puasa dan shalat tarawih


Syeikh Abdul Qadir al-Jailany
dalam al-Gunyah-nya berpendapat, merayakan Idul Fitri tidak harus dengan baju baru, tapi jadikanlah Idul fitri ajang tasyakur, refleksi diri untuk kembali mendekatkan diri pada Alah Swt. Momen mengasah kepekaan sosial kita. Ada pemandangan lain yang harus kita cermati, betapa disaat kita berbahagia , saudara-saudara kita di tempat-tempat lain masih banyak menangis menahan lapar. Bersyukurlah kita!

Semoga bermanfaat ...
Wassalamualaikum Wr.Wb ...
MENYAMBUT IDUL FITRI


Hari-hari menjelang idul fitri, biasanya yang paling sibuk adalah para muslimah. Mulai dari mempersiapakan interior rumah yang ingin tampil beda di saat hari raya, mempersiapakan kue-kue kecil, merancang busana hari raya, bagi yang mudik telah bersiap mengepak dan mempersiapkan segala sesuatu yang harus dibawa, pokoknya hiruk pikuk urusan duniawi mengisi hari-hari menjelang lebaran. 

Apa sebenarnya makna iedul fitri bagi seorang muslim atau muslimah?

Iedul fitri bermakna sebagai hari kemenangan bagi yang puasanya diterima oleh Allah karena telah mampu melawan hawa nafsu selama sebulan penuh dan telah menjalankan ibadah puasa dengan ikhlas hanya karena Allah ta’ala. Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa malam Idul Fitri disebut malam pemberian hadiah, pada malam itu Allah berseru kepada malaikatnya: "Aku bersaksi wahai malaikatku bahwa Aku telah memberikan pahala puasa hamba-hambaKu, pahala sholat-sholat mereka. Aku limpahkan kepada mereka ridho dan
ampunanKu.

Yang menjadi pertanyaan, apakah puasa kita telah diterima oleh Allah SWT? Jawabnya wallahu’alam. Tapi setidaknya, menurut para ulama ada indikasi-indikasi yang menjadi tolok ukur apakah puasa seseorang diterima atau tidak. Indikasi yang pertama adalah ketika tingkat kualitas kesholehan seseorang bertambah baik, kedua, jiwanya selalu diliputi oleh keimanan dan yang ketiga, keterikatannya terhadap hukum syara’ makin meningkat baik secara individu maupun kehidupan sosialnya.

Iedul fitri juga bermakna sebagai hari kemenangan sejati bagi yang benar-benar melakukan penghayatan dan pengamalan selama bulan romadhon. Sehingga menghantarkan kepada pribadi yang fitri, kembali kepada fitrahnya yang bersih, suci bagai kain putih yang belum terkotori oleh noda.

Meskipun pada detik-detik menjelang iedul fitri ini, para muslimah atau lebih tepatnya para istri atau ibu-ibu disibukkan dengan urusan-urusan rumah tangga yang bersifat duniawi, tapi bukan berarti melalaikan urusan ukhrowinya. Justru disinilah tantangannya.
Muslimah ditantang untuk mampu mengatur waktunya denganbaik sehingga antara kesibukan rumah tangga dan ibadah kepada Allah tetap berjalan seimbang. Jangan sampai momen baik ini terlewatkan tanpa melakukkan aktivitas yang berarti di hadapan AllahSWT.

Sempatkan untuk mengevaluasi diri (mutaba’ah) dan mengkalkulasi keburukan diri sendiri dan memikirkan seberapa banyak kebaikan-kebaikan yang belum dilakukan (muhasabah).
Jadikan pula iedul fitri sebagai ajang tasyakur, mengasah kepekaan sosial dan refleksi diri untuk lebih mendekatkan diri kepada Sang Khalik.

Di negeri ini, ada tradisi silaturahmi setiap perayaan hari raya iedul fitri. Sebuah tradisi yang layak untuk dilestarikan. Saling mengunjungi, saling bermaaf-maafan dengan sanak saudara, teman sejawat, tetangga, mitra kerja, atasan dan bawahan. Selain menggugurkan dosa-dosa tentunya tradisi ini akan menyambungkan kembali tali silaturahmi, mempererat persaudaraan dan semakin meningkatkan ukhuwah islamiyah.

Mudah-mudahan iedul fitri kali ini, menjadikan kita hamba yang lebih baik, mempunyai semangat baru dan lahir sebagai sosok baru seperti kepompong yang berubah menjadi kupu-kupu yang penuh dengan keindahan taqwa kepada Allah SWT. Amin ya robbal ‘alamin. Wallahu’alam…***

 
Penulis bernama Nani Agus, seorang ibu rumah tangga dengan dua putri. Pemerhati perkembangan Islam baik local dan manca Negara serta aktif di berbagai kegiatan Islam.

Senin, 13 September 2010

NASEHAT SELEPAS RAMADHAN



Bulan yang penuh berkah telah berlalu. Bulan yang akan menjadi saksi yang akan membela setiap orang yang bersungguh-sungguh dalam mengerjakan ketaatan kepada Allah atau justru menjadi saksi yang akan menghujat setiap orang yang memandang remeh bulan Ramadlan.
Oleh karena itu, hendaknya diri kita masing-masing membuka pintu muhasabah terhadap diri kita. Amalan apakah yang kita kerjakan di bulan tersebut? Apakah faedah dan buah yang kita petik pada bulan Ramadlan tersebut? Apakah pengaruh bulan Ramadlan tersebut terhadap jiwa, akhlak dan perilaku kita?

Kondisi Salafush Shalih Selepas Ramadlan
Pertanyaan yang teramat mendesak untuk dijawab oleh diri kita masing-masing adalah, ”Setelah Ramadlan berlalu, sudahkah kita menunaikan berbagai sebab yang akan mempermudah amalan kita di bulan Ramadlan diterima di sisi-Nya dan sudahkah kita bertekad untuk terus melanjutkan berbagai amalan ibadah yang telah kita galakkan di bulan Ramadlan?”
Tidakkah kita meneladani generasi sahabat (salafush shalih), dimana hati mereka merasa sedih seiring berlalunya Ramadlan. Mereka merasa sedih karena khawatir bahwa amalan yang telah mereka kerjakan di bulan Ramadlan tidak diterima oleh Allah ta’ala. Sebagian ulama salaf mengatakan,

كَانُوا يَدْعُوْنَ اللهَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ أَنْ يَبْلُغَهُمْ شَهْرَ رَمَضَانَ ثُمَّ يَدْعُوْنَ اللهَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ أَنْ يَتَقَبَّلَهُ مِنْهُمْ

”Mereka (para sahabat) berdo’a kepada Allah selama 6 bulan agar mereka dapat menjumpai bulan Ramadlan. Kemudian mereka pun berdo’a selama 6 bulan agar amalan yang telah mereka kerjakan diterima oleh-Nya.” (Lathaaiful Ma’arif hal. 232).

Oleh karena itu, para salafush shalih senantiasa berkonsentrasi dalam menyempurnakan dan menekuni amalan yang mereka kerjakan kemudian setelah itu mereka memfokuskan perhatian agar amalan mereka diterima karena khawatir amalan tersebut ditolak.
’Ali bin Abi Thalib radliallahu ‘anhu mengatakan,

كُوْنُوْا لِقَبُوْلِ اْلعَمَلِ أَشَدَّ اهْتِمَامًا مِنْكُمْ بِاْلعَمَلِ أَلَمْ تَسْمَعُوْا اللهَ عَزَّ وَ جَلَّ يَقُوْلُ : ]إِنَّمَا يَتَقَبَلُ اللهُ مِنَ اْلمُتَّقِيْنَ[

”Hendaklah kalian lebih memperhatikan bagaimana agar amalan kalian diterima daripada hanya sekedar beramal. Tidakkah kalian menyimak firman Allah ’azza wa jalla, [إِنَّمَا يَتَقَبَلُ اللهُ مِنَ اْلمُتَّقِيْنَ] “Sesungguhnya Allah hanya menerima (amalan) dari orang-orang yang bertakwa.” (Al Maaidah: 27).” (Lathaaiful Ma’arif: 232).

Demikianlah sifat yang tertanam dalam diri mereka. Mereka bukanlah kaum yang merasa puas dengan amalan yang telah dikerjakan. Mereka tidaklah termasuk ke dalam golongan yang tertipu akan berbagai amalan yang telah dilakukan. Akan tetapi mereka adalah kaum yang senantiasa merasa khawatir dan takut bahwa amalan yang telah mereka kerjakan justru akan ditolak oleh Allah ta’ala karena adanya kekurangan. Demikianlah sifat seorang mukmin yang mukhlis dalam beribadah kepada Rabb-nya. Allah ta’ala telah menyebutkan karakteristik ini dalam firman-Nya,

وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ (٦٠)

”Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabb mereka.” (Al Mukminun: 60).
Ummul Mukminin, ’Aisyah radliallahu ‘anha ketika mendengar ayat ini, beliau merasa heran dikarenakan tabiat asli manusia ketika telah mengerjakan suatu amal shalih, jiwanya akan merasa senang. Namun dalam ayat ini Allah ta’ala memberitakan suatu kaum yang melakukan amalan shalih, akan tetapi hati mereka justru merasa takut. Maka beliau pun bertanya kepada kekasihnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

أَهُمُ الَّذِينَ يَشْرَبُونَ الْخَمْرَ وَيَسْرِقُونَ
“Apakah mereka orang-orang yang meminum khamr dan mencuri?”
Maka rasulullah pun menjawab,

لَا يَا بِنْتَ الصِّدِّيقِ وَلَكِنَّهُمْ الَّذِينَ يَصُومُونَ وَيُصَلُّونَ وَيَتَصَدَّقُونَ وَهُمْ يَخَافُونَ أَنْ لَا يُقْبَلَ مِنْهُمْ أُولَئِكَ الَّذِينَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ

”Tidak wahai ’Aisyah. Mereka adalah orang-orang yang berpuasa, menegakkan shalat dan bersedekah akan tetapi mereka merasa takut amalan yang telah mereka kerjakan tidak diterima di sisi Allah. Mereka itulah golongan yang senantiasa berlomba-lomba dalam mengerjakan kebajikan.”Shahihut Tirmidzi nomor 2537). (HR. Tirmidzi nomor 3175. Imam Al Albani menshahihkan hadits ini dalam
Kontinu dalam Beramal Shalih Selepas Ramadlan
Sebagian orang bijak mengatakan,

مِنْ ثَوَابِ الْحَسَنَةِ اَلْحَسَنَةُ بَعْدَهَا وَمِنْ عُقُوْبَةِ السَّيِّئَةِ اَلسَّيِّئَةُ بَعْدَهَا

“Diantara balasan bagi amalan kebaikan adalah amalan kebaikan yang ada sesudahnya. Sedangkan hukuman bagi amalan yang buruk adalah amalan buruk yang ada sesudahnya.” (Al Fawaa-id hal. 35).
”Oleh karena itu barangsiapa mengerjakan kebaikan kemudian melanjutkannya dengan kebaikan lain, maka hal itu merupakan tanda atas terkabulnya amal pertama. Demikian pula sebaliknya, jika seorang melakukan suatu kebaikan lalu diikuti dengan amalan yang buruk maka hal itu merupakan tanda tertolaknya amal yang pertama.” (Lathaaiful Ma’arif hal. 244).
Melanjutkan berbagai amalan yang telah digalakkan di bulan Ramadlan menandakan diterimanya puasa Ramadhan, karena apabila Allah ta’ala menerima amal seorang hamba, pasti Dia menolongnya dalam meningkatkan perbuatan baik setelahnya. Bukankah Allah ta’ala berfirman,

فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى .وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى .فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى

”Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (syurga). Maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.” (Al Lail: 5-7).
Termasuk sebagian ungkapan rasa syukur seorang hamba atas berbagai nikmat yang telah dianugerahkan kepadanya adalah terus menggalakkan berbagai amalan shalih yang telah ia lakukan setelah Ramadhan. Tetapi jika ia malah menggantinya dengan perbuatan maksiat maka ia termasuk kelompok orang yang membalas kenikmatan dengan kekufuran. Apabila ia berniat pada saat melakukan puasa untuk kembali melakukan maksiat lagi, maka puasanya tidak akan terkabul, ia bagaikan orang yang membangun sebuah bangunan megah lantas menghancurkannya kembali. Allah ta’ala berfirman:

وَلا تَكُونُوا كَالَّتِي نَقَضَتْ غَزْلَهَا مِنْ بَعْدِ قُوَّةٍ أَنْكَاثًا (٩٢)

“Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat menjadi cerai berai kembali “(An-Nahl: 92).
Beberapa Amal Shalih Selepas Ramadlan
Saudara sekalian, sekalipun bulan suci Ramadlan telah berakhir, namun amalan seorang mukmin tidak akan berakhir sebelum ajal datang menjemput. Allah ta’ala berfirman,

وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ (٩٩)

”Dan sembahlah Rabb-mu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal).” (Al Hijr: 99).
Jika bulan Ramadlan telah berlalu, maka seorang mukmin tidak akan terputus dalam melakukan ibadah puasa, karena sesungguhnya puasa itu terus disyari’atkan sepanjang tahun. Seorang mukmin masih bisa mengerjakan berbagai macam amalan puasa selepas Ramadlan. Diantaranya adalah puasa sebanyak enam hari di bulan Syawwal. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

”Siapa yang mengerjakan puasa Ramadlan, kemudian dilanjutkan dengan enam hari puasa di bulan Syawwal, maka itu adalah seperti puasa sepanjang tahun.” (HR. Muslim nomor 1164).
Demikian pula, seorang mukmin masih bisa mengerjakan puasa sunnah sebanyak tiga hari di setiap bulannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ثَلاَثٌ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ، وَرَمَضَانُ إِلىَ رَمَضَانَ فَهَذَا صِيَامُ الدَّهْرِ

”Tiga hari (puasa) setiap bulan, puasa Ramadlan ke Ramadlan berikutnya, maka ini adalah seperti puasa sepanjang zaman.” (HR. Al Baihaqi nomor 3844 dalam Syu’abul Iman).
Begitupula seorang mukmin masih bisa mengerjakan puasa Senin-Kamis. Dan masih banyak puasa sunnat lainnya yang bisa dikerjakan seorang mukmin.
Jika amalan shalat malam atau shalat tarawih di malam Ramadlan telah berlalu, maka ketahuilah bahwa shalat malam masih terus disyari’atkan pada setiap malam sepanjang tahun. Tidakkah kita mencontoh nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang senantiasa mengerjakan shalat malam hingga kedua telapak kaki beliau bengkak. Semua itu beliau lakukan untuk bersyukur kepada Rabb-nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ ! أَفْشُوْا السَّلاَمَ وَ أَطْعِمُوْا الطَّعَامَ وَ صَلُّوْا اْلأَرْحَامَ وَ صَلُّوْا بِاللَّيْلِ وَ النَّاسُ نِيَامٌ تَدْخُلُوْا الْجَنَّةَ بِسَلاَمٍ

“Wahai manusia, sebarkanlah salam, berikanlah makanan, sambunglah kekerabatan dan tunaikanlah shalat malam di kala manusia tengah tertidur, niscaya kalian akan memasuki surga dengan damai.” (HR. Hakim nomor 7277. Dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami’ nomor 7865).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

أَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ

”Shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.” (HR. Muslim nomor 1163).
Di samping itu ada juga berbagai amalan shalat sunnah Rawatib yang berjumlah dua belas raka’at, yaitu empat raka’at sebelum shalat Zhuhur dan dua raka’at sesudahnya, dua raka’at sesudah Maghrib, dua raka’at sesudah Isya’ dan dua raka’at sebelum Subuh. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ عَبْدٍ مُسْلِمٍ يُصَلِّي لِلَّهِ كُلَّ يَوْمٍ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً تَطَوُّعًا غَيْرَ فَرِيضَةٍ إِلَّا بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ

”Seorang hamba yang senantiasa mengerjakan shalat karena Allah pada setiap harinya sebanyak dua belas raka’at dalam bentuk shalat sunnah dan bukan termasuk shalat wajib, maka niscaya Allah akan membangunkan baginya sebuah rumah di dalam surga.” (HR. Muslim nomor 728).
Seorang mukmin juga akan senantiasa berdzikir kepada Allah ta’ala dengan berbagai dzikir yang dituntunkan oleh nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di setiap kesempatan. Begitupula dengan berbagai amalan kebajikan yang lain seperti bersedekah, membaca Al Qur-an, dan lain sebagainya, selayaknya dilakukan oleh seorang mukmin di luar bulan Ramadlan.
Janganlah kita menjadi orang-orang yang merayakan hari ‘Iedul Fitri dengan penuh suka cita kemudian melupakan dan meninggalkan berbagai amalan yang telah digalakkan di bulan Ramadlan.
Wahb ibnul Wardi pernah melihat sekelompok orang yang bersuka cita dan tertawa di hari ‘Iedul Fitri. Beliau pun lantas mengatakan,

إِنْ كَانَ هَؤُلاَءِ تَقَبَلَ مِنْهُمْ صِيَامَهُمْ فَمَا هَذَا فِعْلُ الشَّاكِرِيْنَ وَ إِنْ كَانَ لَمْ يَتَقَبَّلْ مِنْهُمْ صِيَامَهُمْ فَمَا هَذَا فِعْلُ الْخَائِفِيْنَ

“Apabila puasa mereka diterima di sisi Allah, apakah tindakan mereka tersebut adalah gambaran orang yang bersyukur kepada-Nya. Dan jika ternyata puasa mereka tidak diterima, apakah tindakan mereka itu adalah gambaran orang yang takut akan siksa-Nya.” (HR. Al Baihaqi dalam Asy Syu’abLathaaiful Ma’arif hal. 232). nomor 3727,
Ya Allah teguhkanlah kami di atas iman dan amal shalih, hidupkan kami dengan kehidupan yang baik dan sertakan diri kami bersama golongan orang-orang yang shalih.

Minggu, 12 September 2010

HUKUM MAKAN SAHUR KETIKA ADZAN SUBUH ATAU BEBERAPA SAAT SESUDAHNYA

Pertanyaan:
Allah berfirman:
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ

”Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.’(Al-Baqarah:187).
Lalu bagaimana hukum orang yang masih melanjutkan makan sahurnya atau minum ketika adzan subuh atau sekitar seperempat jam setelahnya?

Jawaban:
Jika yang bertanya mengetahui bahwa waktu tersebut memang belum saatnya Subuh, maka tidak perlu qodho, tapi jika ia tahu bahwa waktu tersebut telah masuk waktu subuh, maka ia harus mengqodho’nya.
Jika ia tidak tahu apakah ketika ia masih makan dan minum itu  telah masuk waktu subuh atau belum, maka tidak perlu mengqodho’. Karena hukum asalnya saat itu adalah masih malam (belum masuk wktu subuh). Namun demikian, hendaknya seorang Mukmin berhati-hati dalam menjaga puasanya dan menahan diri dari segala hal yang membatalkannya jika telah mendengar adzan, kecuali jika ia tahu bahwa adzan tersebut sebelum masuk waktu subuh.

[Fatawa ash-shiyam, Lajnah Da'imah, hal.23].
Posted in FATWA ULAMA, FIKIH

Sabtu, 04 September 2010

PERKARA YG MEMBATALKAN PAHALA PUASA

Ramadhan bulan penuh berkah, rahmat, dan keutamaan adalah kesempatan emas bagi setiap muslim yang mendambakan ampunan Allah dan surga-Nya, yang mengharap jauhnya diri dari murka Allah dan siksaNya. Merupakan karunia Allah pada kita ketika Allah panjangkan umur kita sampai pada bulan mulia ini, karena dengan itu berarti Allah memberikan kepada kita peluang besar untuk menggapai maghfirah (ampunan) dan surga-Nya. Serta peluang bagi kita untuk berusaha menyelamatkan kita dari neraka-Nya, dimana pada bulan ini di setiap malamnya Allah membebaskan sekian banyak orang yang mestinya menghuni neraka.
Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

عن أبي هُرَيْرَةَ قال قال رسول اللَّهِ صلى الله عليهوَلِلَّهِ عُتَقَاءُ من النَّارِ وَذَلكَ كُلُّ لَيْلَةٍ

(artinya) : Dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam bersabda: “…Dan Allah memiliki orang-orang yang yang dibebaskan dari neraka, dan itu pada tiap malam (Ramadhan)”. [Shahih, Hadits Riwayat Tirmidzi:682. Shahih Sunan Tirmidzi]
Dalam hadits lain seorang sahabat bernama Abu Umamah berkata kepada Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam:

يَا رَسُولَ اللهِ فَمُرْنِي بِعَمَلٍ أَدْخُلُ بِهِ الْجَنَّةَ قَالَ عَلَيْكَ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَا مِثْلَ لَهُ

(artinya) : Wahai Rasulullah maka perintahkanlah kepadaku sebuah amalan yang aku akan masuk surga dengannya. Nabi menjawab: “Hendaknya kamu puasa, tidak ada yang seperti puasa”. [HR Ibnu Hibban. Lihat Mawarid Dhom’aan:1/232]
Dua keutamaan di atas menggambarkan kepada kita tentang besarnya urusan puasa, keduanya merupakan puncak dari keutamaan puasa, dan selain itu masih banyak lagi dari berbagai macam keutamaan sebagaimana tersebut dalam hadits-hadits. Namun karena pembahasan kali ini bukan dalam rangka menyingkap keutamaan puasa, sehingga apa yang di atas cukup sebagai isyarat kepada yang lain bahwa yang kita akan bahas disini justru bagaimanakah kita dapat menggapai segala keutamaan tersebut. Saya menganggap hal itu yang lebih penting untuk dibahas kali ini mengingat kita telah memasuki bulan Ramadhan dan mengingat banyaknya orang-orang yang melalaikan hal ini.
Nah, untuk menggapai keutamaan tersebut tentu bukan dengan sembarang puasa, bahkan harus dengan puasa yang sesuai dengan aturannya, sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah Ta’ala yang mensyariatkan puasa. Disamping keikhlasan dalam mengamalkan ibadah ini, dorongan iman dan mengharap pahala yang itu merupakan syarat diterimanya segala amalan, juga pada garis besarnya seorang yang berpuasa harus menjauhi dua hal penting, apa itu?

Pertama, pembatal puasa
Kedua, pembatal pahala puasa
Poin kedua inilah yang akan kita bahas sekarang, mengingat banyaknya orang-orang yang berpuasa dan masih melalaikannya, dan mengingat bahayanya yang besar pada ibadah puasa karena ini dapat membatalkan pahala puasa atau paling tidaknya dapat mengurangi pahala puasa seukuran pelanggaran yang dia lakukan, dalam kondisi seorang yang melakukanya sering kali tidak menyadarinya. Ini tentu suatu ancaman.
Hal ini dikarenakan puasa bukan sekedar menahan dari lapar dan dahaga atau dari pembatal yang lain, seperti sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam :

لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ اْلأَكْلِ وَ الشُّرْبِ

(artinya) : Bukanlah puasa itu sekedar menahan dari makan dan minum. [Shahih, HR Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan Al-Hakim]
Yakni lebih dari itu, ada hal-hal lain yang ia harus menahan diri darinya sebagai bagian dari ibadah puasanya.
Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah menerangkan: Seorang yang berpuasa adalah orang yang anggota badanya berpuasa dari perbuatan-perbuatan dosa, lisannya berpuasa dari kata dusta, kata keji, dan ucapan palsu, perutnya berpuasa dari makanan dan minuman, kemaluannya berpuasa dari bersetubuh. Bila dia berbicara, tidak berbicara dengan sesuatu yang mencacat puasanya, bila berbuat, tidak berbuat dengan suatu perbuatan yang merusak puasanya, sehingga seluruh ucapannya keluar dalam keadaan baik dan manfaat.
Demikian pula amalannya, amalannya bagai bau harum yang dicium oleh seorang yang berteman dengan pembawa minyak wangi misk, semacam itu pula orang yang berteman dengan orang yang berpuasa, ia mendapatkan manfaat dengan bermajlisnya bersamanya, aman dari kepalsuan, kedustaan, kejahatan dan kedhalimannya. Inilah puasa yang disyariatkan, bukan sekedar menahan dari makan dan minum terdapat dalam hadits yang shahih:

من لم يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ و الجهل فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ في أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

(artinya) : Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta, dan pengamalannya, serta amal kebodohan, maka Allah tidak butuh pada amalannya meninggalkan makan dan minumnya. [Shahih, HR Al-Bukhari]
Dalam hadits yang lain:

وَرُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الْجُوعُ والعطش

(artinya) : Bisa jadi seorang yang berpuasa, bagiannya dari puasanya hanyalah lapar dan dahaga [Shahih, HR Ibnu Hibban:8/257]
Maka puasa yang sebenarnya adalah puasanya anggota badan dari perbuatan-perbuatan dosa, puasanya perut dari minum dan makan, maka sebagaimana makanan itu akan memutus puasa dan merusaknya, demikian pula perbuatan-perbuatan dosa akan memutus pahalanya dan merusak buahnya, sehingga menjadikan orang yang berpuasa seperti yang tidak puasa. [Al-Wabilushayyib:43]
Menengok kepada realita ibadah puasa yang dilakukan oleh manusia, Ibnu Qudamah membagi puasa menjadi tiga:
  • Puasa orang awam, yaitu sekedar menahan perut dan kemaluan dari keinginannya.
  • Puasa orang khususyaitu menahan pandangan, lisan, tangan, kaki, pendengaran, penglihatan dan seluruh anggota badan dari perbuatan-perbuatan dosa.
  • Puasa orang yang lebih khusus, yaitu puasanya kalbu dari keinginan-keinginan yang hina, pemikiran-pemikiran yang menjauhkan dari Allah dan menahan kalbu dari selain Allah secara total. [Mukhtashar Minhajul Qashidin:58]
Demikian yang terjadi pada pengamalan manusia terhadap ibadah puasa ini, tentu semestinya semua orang, baik yang awam atau yang berilmu agar menjadikan puasanya ini pada tingkatan yang tertinggi. Dan disinilah lahan untuk berpacu bagi semua orang yang berjalan menuju Allah dalam ibadah ini, semoga Allah memberikan taufiq-Nya kepada kita semua untuk berlomba-lomba dalam meraih yang terbaik.
Selanjutnya untuk menuju puasa yang terbaik sebagaimana dikehendaki Allah, maka tentu kita perlu meruju kepada bimbingan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam pengamalan ibadah ini, sungguh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan kepada kita rambu-rambu untuk kita berhati-hati dari beberapa hal sebagaimana tersebut dalam hadits-hadits berikut ini:

من لم يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ و الجهل فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ في أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

(artinya) : Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta, dan pengamalannya, serta amal kebodohan, maka Allah tidak butuh pada amalannya meninggalkan makan dan minumnya. [Shahih, HR Al Bukhari]

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِنَّ الصِّيَامَ لَيْسَ مِنَ الأَكْلِ وَالشُّرْبِ فَقَطْ إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغُوِ وَالرَّفَثِ فَإِنْ سَابَّكَ أَحَدٌ أَوْ جَهِلَ عَلَيْكَ فَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ

(artinya) : Dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya puasa itu bukan menahan dari makan dan minum saja, hanyalah puasa yang sebenarnya adalah menahan dari laghwu (ucapan sia-sia) dan rafats (ucapan kotor), maka bila seseorang mencacimu atau berbuat tindakan kebodohan kepadamu katakanlah: ‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa’.” [Shahih, HR Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim, lihat kitab Shahih Targhib]

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه يقول قال رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قال الله وإذا كان يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فلا يَرْفُثْ ولا يَصْخَبْ فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أو قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إني امْرُؤٌ صَائِمٌ

(artinya) : Dari Abu Hurairah ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Allah berfirman : …maka bila pada hari puasanya seseorang di antara kalian janganlah ia melakukan rafats dan janganlah ia yashkhab (berteriak, ribut), bila seseorang mencacimu atau mengganggumu maka katakanlah: ‘Saya ini orang yang sedang berpuasa…’.” [Shahih, HR Al-Bukhari]

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ لا تَسَابَّ وَأَنْتَ صَائِمٌ وَإِنْ سَابَّكَ أَحَدٌ فَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ وَإِنْ كُنْتَ قَائِمًا فَاجْلِسْ

(artinya) : Dari Abu Hurairah dari Nabi ia bersabda: “Janganlah kamu saling mancaci (bertengkar mulut) sementara kamu sedang berpuasa maka bila seseorang mencacimu katakana saja: ‘Sesungguhnya saya sedang berpuasa’, dan kalau kamu sedang berdiri maka duduklah.” [Shahih, HR Ibnu Khuzaimah: 3/241, Nasa’i dalam Sunan Kubra: 2/241 Ibnul Ja’d: 1/411, tanpa kalimat terakhir. Imam Ahmad dalam Musnad:2/505 dan Ath-Thayalisi dalam Musnad:1/312. Lihat Shahih Targhib]
Dari hadits-hadits di atas maka dapat kita simpulkan bahwa pembatal pahala puasa atau yang akan menguranginya adalah sebagai berikut:
  1. Qauluz-zur yakni ucapan dusta [Fathul Bari:4/117]
  2. Mengamalkan qouluz-zur yakni perbuatan yang merupakan tindak lanjut atau konsekuensi dari ucapan dusta [Fathul Bari:4/117]
  3. Jahl yakni amalan kebodohan [Fathul Bari:4/117]
  4. Rafats yakni seperti dijelaskan Al-Mundziri: Terkadang kata ini disebutkan dengan makna bersetubuh, dan terkadang dengan makna, ‘kata-kata yang keji dan kotor’ dan terkadang bermakna ‘pembicaraan seorang lelaki dan perempuan seputar hubungan sex’, dan banyak dari ulama mengatakan: ‘yang dimaksud dengan kata rafats dalam hadits ini adalah ‘kata kotor keji dan jelek’. [Shahih Targhib:1/481] dengan makna yang terakhir ini maka punya pengertian yang lebih luas dan tentu mencakup makna-makna yang sebelumnya disebutkan. –Wallahu A’lam’-
  5. Laghwu yakni ucapan yang tidak punya nilai atau manfaat [lihat An-Nihayah:4/257 dan Al-Mishbahul Munir:555] dan –wallahu a’lam- mencakup juga amalan yang tidak ada manfaatnya [lihat semakna dengannya kitab Faidhul Qodir:6228]
  6. Shakhab yakni bersuara keras dan ribut dikarenakan pertikaian [An-Nihayah:3/14, Lisanul Arab:1/521] Asy-Syaikh Al-Albani mengatakan: Yakni jangan berteriak dan jangan bertikai [catatan kaki Mukhtashar Shahih al-Bukhari:443]
  7. Bertengkar mulut
Demikian beberapa hal yang mesti dijauhi saat seseorang sedang berpusa agar pahanya tidak berkurang atau batal, disamping menjauhi hal-hal yang akan membatalkan puasanya. Dan diantara yang akan mensucikan puasa seseorang dari Laghwu dan rafats diatas adalah ia menunaikan zakat fitrah, sebagaimana tersebut dalam hadits.

عَنِ بْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم زَكَاةَ الفِطْرِ طُهْرَةً للِصَّياَمِ مِنَ اللّْغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِيْنِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُوْلَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ

(artinya) : Dari Ibnu Abbas ia berkata: “Rasulullah mewajibkan zakat fitrah sebagai pensuci bagi puasa dari laghwu dan rafats dan sebagai pemberian makan untuk orang-orang miskin, maka barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat maka itu zakat yang diterima. Dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat, maka itu adalah sebagai sedekah dari sedekah-sedekah yang ada” [HR Al-Hakim dalam kitab Al-Mustadrak dan beliau mengatakan: Shahih sesuai syarat Al-Bukhari namun Al-Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkannya]
Semoga bermanfaat, Wallahu a’lam.....

(Dikutip dari tulisan al Ustadz Qomar ZA, Lc, judul asli Pembatal Pahala Puasa, dikirimkan ke redaksi via email beliau)

Kamis, 02 September 2010

MUKJIZAT ILMIAH DALAM PUASA


Allah berfirman, ‘Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.’ (al-Baqarah: 183)

Mukjiat Pertama: Keharusan Puasa bagi Setiap Orang
Para ilmuwan hari ini menganggap puasa sebagai fenomena yang vital dan fitri, dimana kehidupan yang sempurna dan kesehatan yang baik tidak bisa diperoleh tanpanya. Apabial seseorang atau bahkan seekor binatang tidak berpuasa, maka ia akan terjangkit berbagai macam penyakit. McFadon, seorang ahli kesehatan Amerika, mengatakan, ‘Setiap orang perlu puasa, karena kalau tidak maka ia akan sakit. Karena racun makanan berkumpul dalam tubuh dan membuatnya seperti orang sakit, memberatkan tubuhnya, dan mengurangi vitalitasnya. Apabila ia berpuasa, maka berat badannya menurun, dan racun-racun ini terurai daritubuhnya dan keluar, sehingga tubuhnya menjadi bersih secara sempurna, lalu bobot tubuhnya akan kembali naik, dan sel-selnya kembali baru dalam waktu tidak lebih dari 20 hari setelah berhenti puasa. Pada saat itu ia merasakan vitalitas dan kekuatan yang tidak pernah dirasakannya sebelumnya.’
Di antara manfaat kesehatan dari puasa adalah:
  1.  Merilekskan tubuh dan memperbaiki syarafnya. 
  2. Menyerap zat-zat yang mengendap di usus. Pengendapan dalam jangka waktu yang lama mengakibatkan perubahan endapan itu menjadi kotoran yang beracun.
  3. Memperbaiki fungsi pencernaan dan penyerapan. 
  4. Mengembalikan vitalitas organ pembuangan, dan memperbaiki fungsinya untuk membersihkan tubuh, yang mengakibatkan terkontrolnya stabilitas dalam darah dan berbagai cairan dalam tubuh. 
  5. Mengurai zat-zat yang berlebihan dan endapan-endapan di dalam jaringan yang sakit.
  6. Mengembalikan keremajaan dan vitalitas sel-sel dan berbagai jaringan dalam tubuh. 
  7. Menguatkan indera dan meningkatkan IQ.  
  8. Memperbagus dan membersihkan Kulit.
Alexis Carrel, pemenang hadiah Nobel di bidang kedokteran, dalam bukunya Man the Unknown mengatakan, ‘Banyaknya porsi makanan dapat melemahkan fungsi organ, dan itu merupakan faktor yang besar bagi berdiamnya jenis-jenis kuman dalam tubuh. Fungsi tersebut adalah fungsi adaptasi terhadap porsi makanan yang sedikit…Gula pada jantung bergerak, dan bergerak pula lemak yang tersimpan dalam kulit. Semua organ tubuh mengeluarkan zat khususnya untuk mempertahankan keseimbangan internal dan kesehatan jantung. Puasa benar-benar membersingkan dan pengganti jaringan tubuh kita.’

Mukjizat Kedua: Minimal Puasa Satu Bulan dalam Setahun
Allah berfirman, ‘Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat inggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.’ (al-Baqarah: 185)
Prof. Nicko Lev dalam bukunya Hungry for Healthy mengatakan, ‘Setiap orang harus berpuasa dengan berpantang makan selama empat minggu setiap tahun, agar ia memperoleh kesehatan yang sempurna sepanjang hidupnya.’


Mukjizat Ketiga: Mengenai Penetapan Waktu Puasa dari Matahari Terbit hingga Matahari Terbenam
Waktu puasa syar‘i adalah dari terbitnya matahari hingga terbenamnya matahari, dengan tidak berlebihan saat berbuka puasa. Penelitian ilmiah membuktikan bahwa jarak waktu yang tepat untuk puasa adalah antara 12 hingga 18 jam. Sesudah itu, simpanan gula dalam tubuh mulai terurai. Dreanik dkk. pada tahun 1964 mencatat sejumlah penyakit komplikasi kritis akibat berpuasa lebih dari 31 hari (wishal). Di sini tampak jelas mukjizat Nabawi dalam larangan puasa wishal atau bersambung.
Dari Abu Hurairah bahwa Nabi saw bersabda, ‘Janganlah kalian puasa wishal.’ Para sahabat bertanya, ‘Tetapi engkau berpuasa wishal, ya Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Kalian tidak sepertiku. Sesungguhnya Tuhanku memberiku makan dan minum saat aku tidur malam.’


Mukjizat Keempat:
Penelitian ilmiah membuktikan urgensi makan sahur dan berbuka untuk mensuplai tubuh dengan asam lemak dan amino. Tanpa kedua zat ini, lemak dalam tubuh akan terurai dalam jumlah besar, sehingga mengakibatkan sirosis pada hati, dan menimbulkan berbagai bahaya besar bagi tubuh. Nabi saw bersabda, ‘Umatku akan tetap dalam keadaan baik selama mereka menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur.’ 


Sumber : Era Muslim
Oleh: Dr. Shalih bin Abdul Qawi as-Sanabani
(Ketua Jurusan Mukjizat Ilmiah, Universitas al-Iman)

MISTERI RASA SAKIT



Allah Yang Mahakuasa berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُواْ بِآيَاتِنَا سَوْفَ نُصْلِيهِمْ نَارًا كُلَّمَا نَضِجَتْ جُلُودُهُمْ بَدَّلْنَاهُمْ جُلُودًا غَيْرَهَا لِيَذُوقُواْ الْعَذَابَ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَزِيزًا حَكِيمًا

Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam neraka. Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan azab. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS An-Nisa’ [4]: 56)
Mengenai penghuni neraka, Allah Yang Mahakuasa juga berfirman, “Dan diberi minuman dengan air yang mendidih sehingga memotong-motong ususnya?” (Muhammad [47]: 15)
Sebelum era penemuan ilmiah, semua orang percaya bahwa seluruh tubuh manusia bisa merasakan sakit. Sebelum peran ujung saraf di kulit itu ditemukan, manusia sudah belajar tentang keberadaan ujung saraf tertentu yang mengirimkan rasa sakit ke otak. Kulit berhubungan dengan sensitivitas karena mengandung mayoritas saraf.
Menurut klasifikasi sensitivitas kulit Dr Head, ada dua kelompok rasa:
  1. Epictritic yang merasakan sesuatu yang sangat lembut, seperti sentuhan ringan atau sedikit perubahan suhu; dan,
  2. Protopathic yang merasakan sakit dan perubahan besar suhu. Masing-masing kategori ini menggunakan sel-sel saraf tertentu selain reseptor lain untuk mensensor setiap perubahan lingkungan.
Reseptor ini dapat dikategorikan ke dalam empat macam:
  1. Exteroceptors yang berkaitan dengan fakultas akal dan sentuhan dan yang mengandung sel-sel meissners dan merkels,
  2. Krause End Bulbes yang terkait dengan dingin,
  3. Ruffini Cylinders yang terkait dengan panas dan,
  4. Nerve Endings yang dapat mengirimkan semua perasaan sakit fisik. Kulit dianggap sebagai bagian tubuh yang kaya dengan ujung saraf yang mengirim panas dan sakit.
Anatomi telah membuktikan bahwa orang-orang yang kulitnya telah terbakar tidak bisa merasakan sakit karena ujung saraf rusak. Hal ini berbeda dari orang yang memiliki luka bakar tingkat kedua, karena ia akan mengalami sakit parah karena ujung saraf tidak rusak, tetapi agak, terbuka.

Anatomi juga telah membuktikan bahwa usus kecil tidak punya reseptor. Namun, reseptor dapat ditemukan antara peritoneum dan lapisan luar usus. Area ini mengandung banyak organ kecil dikenal dengan nama pacini. Ukuran peritoneum adalah 20.400 kubik sentimeter, yang menjadikannya setara dengan ukuran lapisan luar kulit. Selain itu, reseptor pada usus serupa dengan yang ada di kulit.

Allah SWT menjelaskan kepada kita dalam ayat pertama bahwa kulit adalah bagian tubuh yang akan menerima hukuman, karena ada hubungan antara kulit dan sensasi rasa sakit. Ayat juga mengatakan kepada kita bahwa ketika kulit terbakar (yakni di neraka), manusia tidak dapat lagi merasakan sakitnya hukuman. Karen aitu kulit yang terbakar diganti dengan kulit segar baru di mana saraf yang berfungsi dengan baik dan dapat menularkan rasa sakit.

Dengan cara ini, seorang kafir akan menderita karena penyangkalannya terhadap tanda-tanda kekuasaan Allah. Ilmu pengetahuan modern telah menunjukkan kepada kita bahwa sebagian besar saraf ditemukan di kulit. Sebelum penemuan mikroskop dan kemajuan yang dicapai dalam bidang anatomi, tidak ada manusia bisa memiliki pengetahuan tentang fakta ilmiah yang telah dijelaskan Alquran empat belas abad yang lalu ini. Ini merupakan sebuah keajaiban dan tanda kekuasaan Allah.

Al-Qur'an dalam ayat yang kedua mengancam orang-orang kafir bahwa usus mereka akan dipotong-potong. Rahasia di balik ancaman ini baru saja terungkap ketika para ilmuwan menemukan bahwa usus tidak terpengaruh oleh panas. Namun, jika mereka diputus, air mendidih akan mengalir keluar ke tempat antara peritoneum dan lapisan luar usus. Tempat ini berisi banyak ujung saraf yang mengirim rasa sakit ke otak dan dengan demikian manusia akan mengalami sakit parah.

Sumber : Era Muslim
Oleh Dr. Mohamad Daudah

Bagaimana Tanggapan Sahabat Semua Tentang Blog Ini